[Wednesday, March 16, 2005]
Rantau
Merantau bagi orang minang telah menjadi suatu keharusan, dan ini telah menjadi bagian perjalanan sejarah minang yang dituturkan dalam certa Tambo Adat Alam Minangkabau. Syahdan pada pembentukan masyarakat awal saat nenek moyang orang minang mencapai gunung marapi, telah ada ada salah satu anak negeri yang pergi merantau (Datuak Parpatiah nan Sabatang) dan kembali membawa suatu pola sistem kemasyarakatan yang sedikit berbeda dengan pola yang ada saat itu, dimana pola baru ini lebih demokratis dibanding dengan pola yang telah ada.
Sejarah kemudian berlanjut dengan masuknya Islam ke ranah minang, yang dibawa oleh para ulama yang datang dari aceh melalui sungai Siak di riau dan terbentuk masyarakat minang muslim, namaun pada tahap awal terjadi sinkretisme antara islam dengan kepercayaan lokal waktu itu itu yaitu hindu-budha dan animisme, kembali lagi semua diperbarui oleh beberapa ulama muda yang terilhami oleh gerakan wahabi di timur tengah saat mereka berhaji dan merantau mendalami islam di Mekah.
Sejarah pembahuruan berlanjut dengan terus terjadinya migrasi dari penduduk, baik karena alasan desakan hidup atau alasan politis. Setiap kembalinya dari rantau selalau ada pembahuruan yang dibawa pulang, yang mempengaruhi tatanan yang ada, namun perubahan itu tetap tak menyinggung sendi dasar walau ada secara keseluruhan adat mengalami tranformasi, pepatah klasik minang "adat tak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan" umtuk beberapa tatanan tidak berlaku tapi tetap tidak mepenmgaruhi dasar adat minang yaitu garis matrilineal.
Walau arus pembaharuan islam di abad ke 19 cukup kuat tp paraulama tidak berupaya merubah tatanan yang paling dasar dalam adat minang tersebut. Sehingga "adaik basandi syarak dan syarak bersandi kitabullah " tidaklah serta merta melarutkan adat matrilineal di alam minang.
Konsep merantau yang di awalnaya berdasarkan pantun " Karatau madang dihulu, bauah babungo balun, marantau bujang dahulu, dirumah paguno balun". Konsep ini menyatakan bahwa pergi merantau saat dikampung karena belum ada peranan yang akan disandang anak muda minang, namun kepulangan saat dia di butuhkan selalu diharapkan.
Namun yang terjadi saat ini merantau orang minang bukan lagi karena manfaatt dikampung halaman blm ada dan, dan kembali disaat telah membekali diri dengan beragam kemampuan, ygt terjadi sekarang malah merantau sampai tua dalam istilah minang " merantau cino"(merantau cina) dimana menetap selamanya dirantau.
Beberapa hal yang membuat enggannya generasi perantauan minang ke kampung halaman karena beberapa sebab terutama karena daya dukung kampung halaman telah tak memadai sehingga tidak ada lagi lahan yang cocok dengan orang rantau, kemudian telah menemukan lahan hidup yang cocok dirantau.
Untuk saat ini dimana generasi yang lahir dan besar diranah minang masih ada ada, dan masih ada tersisa kenangan masa kecil nan indah dikampung halaman membuat kontak dengan tanah kelahiran masih baik. Namun apakah kedepan akan begitu? dimana generasi minang telah dilahirkan di rantau ........ biarlah waktu yang menjawab
Sejarah kemudian berlanjut dengan masuknya Islam ke ranah minang, yang dibawa oleh para ulama yang datang dari aceh melalui sungai Siak di riau dan terbentuk masyarakat minang muslim, namaun pada tahap awal terjadi sinkretisme antara islam dengan kepercayaan lokal waktu itu itu yaitu hindu-budha dan animisme, kembali lagi semua diperbarui oleh beberapa ulama muda yang terilhami oleh gerakan wahabi di timur tengah saat mereka berhaji dan merantau mendalami islam di Mekah.
Sejarah pembahuruan berlanjut dengan terus terjadinya migrasi dari penduduk, baik karena alasan desakan hidup atau alasan politis. Setiap kembalinya dari rantau selalau ada pembahuruan yang dibawa pulang, yang mempengaruhi tatanan yang ada, namun perubahan itu tetap tak menyinggung sendi dasar walau ada secara keseluruhan adat mengalami tranformasi, pepatah klasik minang "adat tak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan" umtuk beberapa tatanan tidak berlaku tapi tetap tidak mepenmgaruhi dasar adat minang yaitu garis matrilineal.
Walau arus pembaharuan islam di abad ke 19 cukup kuat tp paraulama tidak berupaya merubah tatanan yang paling dasar dalam adat minang tersebut. Sehingga "adaik basandi syarak dan syarak bersandi kitabullah " tidaklah serta merta melarutkan adat matrilineal di alam minang.
Konsep merantau yang di awalnaya berdasarkan pantun " Karatau madang dihulu, bauah babungo balun, marantau bujang dahulu, dirumah paguno balun". Konsep ini menyatakan bahwa pergi merantau saat dikampung karena belum ada peranan yang akan disandang anak muda minang, namun kepulangan saat dia di butuhkan selalu diharapkan.
Namun yang terjadi saat ini merantau orang minang bukan lagi karena manfaatt dikampung halaman blm ada dan, dan kembali disaat telah membekali diri dengan beragam kemampuan, ygt terjadi sekarang malah merantau sampai tua dalam istilah minang " merantau cino"(merantau cina) dimana menetap selamanya dirantau.
Beberapa hal yang membuat enggannya generasi perantauan minang ke kampung halaman karena beberapa sebab terutama karena daya dukung kampung halaman telah tak memadai sehingga tidak ada lagi lahan yang cocok dengan orang rantau, kemudian telah menemukan lahan hidup yang cocok dirantau.
Untuk saat ini dimana generasi yang lahir dan besar diranah minang masih ada ada, dan masih ada tersisa kenangan masa kecil nan indah dikampung halaman membuat kontak dengan tanah kelahiran masih baik. Namun apakah kedepan akan begitu? dimana generasi minang telah dilahirkan di rantau ........ biarlah waktu yang menjawab
<< Home